Anemia Defisiensi Besi (ADB) seringkali disederhanakan sebagai masalah yang hanya menimbulkan rasa lemah fisik dan kantuk. Namun, dampak yang paling merugikan dan sering luput dari perhatian adalah Risiko Anemia Defisiensi Besi terhadap fungsi kognitif dan produktivitas otak, terutama pada anak-anak dan remaja. Zat besi adalah komponen vital hemoglobin yang membawa oksigen ke otak, serta merupakan kofaktor penting bagi banyak enzim yang terlibat dalam sintesis neurotransmiter. Ketika pasokan besi ke otak berkurang, seluruh proses berpikir, memori, dan fokus akan terganggu. Oleh karena itu, memahami Risiko Anemia Defisiensi Besi ini sangat penting untuk menjamin potensi intelektual yang optimal.
Pada anak usia sekolah, Risiko Anemia Defisiensi Besi dapat termanifestasi sebagai penurunan tajam dalam prestasi akademik. Kekurangan zat besi menghambat perkembangan mielin, lapisan lemak yang melindungi serabut saraf, yang berdampak pada lambatnya transmisi sinyal di otak. Sebagai contoh, di SMPN 10 Jakarta pada bulan Agustus 2025, Dinas Kesehatan setempat mengadakan screening anemia pada 500 siswa kelas VII. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dengan kadar hemoglobin di bawah 11 g/dL memiliki rata-rata nilai ujian Matematika 10 poin lebih rendah dibandingkan siswa non-anemia. Studi ini memperkuat fakta bahwa ADB bukan sekadar masalah fisik, melainkan masalah neurologis yang memengaruhi kemampuan belajar, sehingga ADB menjadi ancaman serius terhadap pemenuhan standar akademis siswa.
Pada orang dewasa, Risiko Anemia Defisiensi Besi bergeser menjadi masalah produktivitas kerja dan mood. Kekurangan zat besi memengaruhi kadar dopamin dan serotonin, neurotransmiter yang mengatur perhatian, motivasi, dan kesejahteraan emosional. Banyak pekerja kantoran yang sering mengeluh sulit fokus dan mudah marah ternyata menderita ADB tanpa menyadarinya. Untuk menanggulangi hal ini, program kesehatan perusahaan multinasional di kawasan industri pada tahun 2024 mewajibkan tes feritin (penanda cadangan besi tubuh) pada karyawan yang mengalami burnout atau penurunan performa kerja. Intervensi yang terfokus pada pengobatan Bahaya Anemia Defisiensi Besi dengan suplemen zat besi, terbukti meningkatkan kemampuan konsentrasi dan energi mereka secara signifikan.
Intervensi yang cepat dan tepat adalah kunci untuk mengurangi Risiko Anemia Defisiensi Besi terhadap otak. Dokter biasanya meresepkan suplemen zat besi oral dan menyarankan perubahan pola makan. Namun, kepatuhan pasien sering menjadi tantangan, mengingat efek samping seperti gangguan pencernaan ringan. Oleh karena itu, edukasi mengenai timing konsumsi suplemen (misalnya, diminum bersama Vitamin C untuk penyerapan optimal) dan pentingnya penanganan yang konsisten, sangat ditekankan oleh ahli gizi klinis. Penanganan yang serius terhadap ADB memastikan bahwa otak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan, menjaga fungsi kognitif tetap tajam, dan menjamin kualitas hidup menurun dapat dihindari.
